Selasa, 22 April 2008

Berbagai Kalangan Kesalkan Perlakuan Aparat



Salah satu pemilik ulayat wilayah Degewo Petrus Dikipa ceritakan berbagai persoalan yang terjadi akibat pendulangan. awalnya, kandungan tersebut ditemukan oleh sejumlah warga yang hendak mandi tepatnya di kali Degewo. Kali tersebut merupakan kali yang sangat deras arusnya. Setelah beberapa warga menemukan emas di kali tersebut saat mereka mandi menemukan emas didalam air. Emas yang ditemukan itu 200 (duaratus) gram berupa batu. Berita tentang penemuan itupun tersiar. Sejak itu semua orang berdatangan untuk mencari emas disana. ”sekarang ini sekitar 10 ribuh pendulang ada disana mencari emas,”paparnya.

Petrus pemiliki dusun itu menguraikan dampak pendulangan yang terjadi sana. Habitat alam musnah. Pepohonan telah ditumbangkan, mereka mencari emas dengan berbagai cara. Lokasi pendulangan telah dikuasai oleh para pencuri liar. Dengan berbagai tawaran merebut hak ulayat. Tak heran jika disana terdapat sejumlah tempat hiburan. Untuk mendapatkan lokasi para pengusaha memberikan berbagai janji muluk. Selain itu para pengusaha juga menawarkan gadis-gadis yang didatangkan. Sebelumnya mereka telah membuka sejumlah tempat hiburan yang dilengkapi pelayan penjajah seks komersial (PKS). Yang sangat merinding tempat-tempat itu disediahkan minuman keras (miras). ” tempat kami mencari makan sudah tidak ada lagi. Kami tersisih dengan berbagai cara pengusaha emas yang berkeliaran disana,”katanya sambil mengenang masa depan, Seraya menjelaskan, sepanjang kali Degewo bagaikan perkotaan. Berbagai warna terpal menjadi atap rumah –rumah darurat.

Biro Perdamaian dan Keadilan GKI Klasis Paniai, Yones Douw membenarkan berbagai persoalan terjadi disana. Hingga saat ini 17 pengusaha emas telah menguasai wilayah itu. Cara kerjanya, para pengusaha membeli lokasi kepada pemilik ulayat dengan nilai uang sangat kecil. Mereka juga menyodorkan berbagai janji kepada warga. Namanya saja warga yang masih lugu itu pasti saja menerima berbagai tawaran –tawaran tersebut. Lagi pula berbahasa indonesia yang tidak tahu menjadi persoalan yang sangat besar. Dalam kondisi ketidakpahaman komunikasi itu para pelacur hak ulayat memanfaatkan kandungan emas.

Sejak tahun 2001 hingga kini 2008 telah ditemukan berbagai persoalan. Tindakan-tindakan kemanusian pun sudah terlihat sejak lama. Perselisihan antara pemilik dengan pendulang non Papua selalu menghiasi derap langkah diwilayah Degewo. Warga yang tidak tahu menahu tentang perkembangan itu hanya menahan perasan atas bergulirnya kekayaan alam. Hampir setiap hari para pengusaha membawa pergi 5-10 ton gram emas.

Berbagai cara untuk mendapatkannya. Baik melalui mencari emas dilokasi yang mereka beli juga mereka telah membuka kios-kios untuk warga datang menukar dengan emas. Semisal sebungkus garam makan tukar dengan satu (1) gram emas. Apalagi barang lain (sembako) harganya mahal” tutur Aktivis kemanusian itu kepada NURANI.

Yones mengatakan, Untuk memperlancar semua proses pendulang para pengusaha telah mengkontrak armada Helikopter yang didatangkan Batam. Kontrakan menjadi salah seorang pengusaha terkemuka. Penerbangan Helikopter dilakukan setiap hari. ” sejak akhir tahun 2007 wilayah pendulangan oleh para pengusaha telah masuk didekat perkotaan sekitar jalur jalan Trans Papua tepatnya KM 171 Nabire,”ungkapnya.

Akibat kegiatan pendulangan emas diwilayah Degewo berdampak pada beberapa aspek kehidupan kemanusian. Ancaman tersebut terutama dialami oleh penduduk asli. Selain hak ulayat sebagai tuan tanah atau pemilik juga pengaruh negatif (buruk) telah mengancam seluruh sendi kehidupan. Warga yang sebelumnya lugu bebas dari pengaruh kini dunia baru menyentuh dan mencoreng kemurnian hidupnya. Alam sebagai tempat perlindungan dan menghidupkan kehidupan mereka telah musnah karena perlakuan manusia yang tidak bertangungjawab.

Mencermati kondisi yang memperihatinkan itu sejumlah kali warga telah menyampaikan kepada pemerintah agar mendapatkan perlindungan terutama dalam pengakuan hak ulayat agar mendapatkan legalitas. ” Wilayah pendulangan terkesan statusnya belum dan terjepit diantara kabupaten Nabire dan kabupaten Paniai. Pemerintah kedua kabupaten ini terlihat sedang membiarkan dan persoalanpun terus bergulir yang berimbas pada meregutnya nyawa manusia pemilik ulayat,”tandasnya.

Terdata sekitar 50 orang telah korban akibat perselisihan, baik korban akibat memperebut kembali hak ulayat. Keterlibatan oknum-oknum ABRI baik TNI dan juga Polri. Mereka datang kesana membeking para pengusaha ternama guna mengamankan kekayaan emas. ” Kami pergi kesana untuk mengamankan atas permintaan pengusaha,”ujar seorang anggota TNI dalam sebuah perbincangan.

Ibu Selly Sanadi, seorang pendulang yang sudah lama berada di sana bersama dengan seornag pengusaha. Mereka beekerja secara kelompok. Namun setelah lokasi tersebut dijual kepada pengusaha lain ibu Selly bersama rekan-rekan lain agak susah untuk mendapatkan tempat bekerja.

Untuk mempertahankan kehidupannya ibu Selly pun tidak mengalah tetapi terus mempertahankan lokasi tersebut sebagai pengelolah. Apa lah daya ketika pengusaha emas tersebut mendatang 4 anggota Polri dari Nabire untuk mengusir meraka dari lokasi tersebut. Sebagai seorang wanita tidak berdaya melawan tangan-tangan besi itu. Algojo-algojo itupun mengusir mereka keluar dari lokasi. Berbagai ancaman, bahkan mereka ditodong dengan senjata.

Tanggal 28 Pebruari lalu ibu Selly mengadu persoalan tersebut kepada pihak aparat keamanan. Bahkan Aliansi Masyarakat Pesisir pun ikut mempertanyakan persoalan itu kepada aparat polisi.

Petrus Sanadi Sekretaris Aliansi Masyarakat Pesisir memfasilitasi mempertemukan antara pengusaha dan anggota polisi yang mengancam warga tersebut. ” 4 anggota yang mengancam korban ibu Selly akan diproses secara hukum, BAP nya sudah diserahkan kepada pihak penyidik untuk diproses lebih lanjut,” kata Kapolres Nabire seraya mengatakan, namun sekarang perlu ada koordinasi dengan pihak Polres Paniai, sebab tempat pendulangan adalah kewenangan hukum polres Paniai.

Terkait persoalan itu Kamis pekan Lalu, Kapolres Paniai bertemu dengan keluarga korban. Kapolres Nabire Rinto Djatmono, S.Ik yang sempat dikonfirmasikan terkait persoalan pendulangan mengatakan, ancaman terhadap ibu Selly Sanadi, sesuai laporannya pihak Polres Nabire sedang diproses. Sebab persoalan menyangkut ancaman itu merupakan pelanggaran KUHP. Maka bersama Polres Paniai dan Nabire akan memproses persoalan tersebut.

Mengapa harus libatkan Polres Paniai kata Rinto karena persoalan itu terjadi diwilayah hukum Polres Paniai. ”Siapa bersalah harus ditindak tegas. Polisi bertugas untuk melindungi dan mengayomi rakyat” ungkapnya.

Menyikapi perselisilahan tersebut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Nabire merekomendasikan agar Ny. Selly Sanadi dan Boy Rakinaung agar keluar dari lokasi pendulangan emas, Wepabado, Distrik Bogobaida untuk mengakhir sengketa kedua belah pihak. Sedangkan kasus pengrusakan mobil milik Boy Rakinaung dan ancaman terhadap Ny. Selly oleh Embong terus dilanjutkan melalui proses hukum.

“Ini resiko yang paling prinsipil kita ambil untuk mencari solusi yang terbaik terhadap sengketa antara Selly dan Boy yang kita tangani melalui lembaga ini,” tutur Ketua DPRD Nabire, Daniel Butu saat membacakan sembilan (9) butir rekomendasi DPRD Nabire terhadap penyelesaian kasus sengketa antara Selly dan Boy Rakinaung di lokasi pendulangan emas, Wepabado, Paniai.

Hal ini diungkapkan Ketua Dewan didampingi Ketua Komisi B DPRD Nabire, Peter FT Worabay dan anggota masing-masing Amirullah Hasyim dan Daniel Mote, SE, dalam pertemuan dengan tokoh masyarakat di ruang Sidang DPRD Nabire, belum lama ini. Pertemuan sekaligus untuk mendengarkan rekomendasi akhir dari sengketa antara Selly Sanadi dan Boy Rakinaung yang dilaksanakan sepekan lalu.

Sembilan rekomendasi tersebut dikeluarkan DPRD Kabupaten Nabire setelah mencermati hasil rapat dewan dengan Ny. Selly Sanadi beserta kerukunan Biak dan Boy Rakinaung beserta kerukunan Sangier Talaud di gedung DPRD Nabire, 18 Maret lalu dilanjutkan ke ruang kerja Ketua DPRD dan rumah dinas Ketua DPRD Nabire di Jln. Yos Sudarso, namun tidak ada kesepakatan antara keduanya.

Ketua DPRD Nabire, Daniel Butu membeberkan sembilan rekomendasi tersebut adalah:

1. Kepada Ny. Selly Sanadi dan Boy Rakinaung agar keduanya keluar dan meninggalkan lokasi pendulangan Wepabado.

2. Kepada Kapolres Nabire agar memproses secara hukum pengrusakan mobil saudara Boy Rakinaung serta pengancaman saudara Embo terhadap Ny. Selly Sanadi.

3. Kepada Kapolres Nabire agar menindaktegas oknum aparat Kepolisian Resort Nabire yang menggunakan senjata api untuk membeking pengusaha di lokasi pendulangan sesuai ketentuan dan hukum yang berlaku.

4. Kepada Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Nabire agar berkoordinasi dengan Departemen Perhubungan Republik Indonesia, Cq Dirjen Perhubungan Udara untuk meninjau kembali izin operasi pesawat helicopter yang beroperasi di Nabire, karena dengan beroperasinya helicopter banyak menimbulkan masalah.

5. Kepada Pemerintah Kabupaten Nabire dan Pemerintah Kabupaten Paniai dengan difasilitasi Pemerintah Provinsi Papua agar memperjelas status daerah pendulangan emas di Kabupaten Nabire dan Kabupaten Paniai.

6. Kepada Kapolsek KP3 Udara di Bandara Nabire agar memeriksa kartu identitas bagi siapa saja yang akan menuju lokasi pendulangan emas melalui Bandara Nabire, berupa KTP atau kartu identitas lainnya, termasuk miras dan senjata tajam.

7. Kepada para Ketua Kerukunan, Kepala Suku agar mendata warganya agar identitasnya jelas, apabila tidak, maka dianggap warga liar.

8. Kepada pemilik hak ulayat dan pengusaha agar dalam melepaskan tanah ulayat supaya berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat, agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

9. Kepada Kapolres Nabire dan Kapolres Paniai serta Pemda Kabupaten Nabire dan Pemda Kabupaten Paniai untuk menutup tempat-tempat pelacuran dan kafe-kafe di lokasi pendulangan emas di Degeuwo.

Rekomendasi tersebut ditetapkan 28 Maret 2008, ditandatangani Ketua DPRD Nabire, Daniel Butu.

Usai membacakan rekomendasi tersebut, Daniel mengatakan, setiap surat yang dikeluarkan oleh lembaga DPRD Nabire harus diparaf oleh Sekretaris DPRD (Sekwan). Surat yang tidak disertai dengan paraf dari Sekwan berarti surat tersebut keluar bukan atas nama lembaga, tetapi atas nama perorangan.

Oleh sebab itu, ia mengajak masyarakat untuk lebih teliti terhadap setiap surat yang keluar dari lembaga dewan.

Penegasan tersebut sekaligus menjawab pertanyaan peserta yang mempertanyakan keabsahan dua surat rekomendasi yang beredar di tengah masyarakat.

Ketua DPRD, Daniel Butu menegaskan lembaga dewan hanya mengeluarkan 9 butir rekomendasi, dimana suratnya sudah diparaf oleh Sekwan. Sedangkan rekomendasi yang lebih dari 9 point tanpa diparaf oleh Sekwan berarti surat tersebut berupa surat pribadi yang disebarkan oleh oknum pimpinan dewan. (ignas)

Tidak ada komentar: