Kamis, 17 April 2008

Pemekaran Daerah

Antara Harapan Kenyataan

Wacana pembentukan daerah otonom baru baru masih menjadi isu menarik hingga kini, apalagi kepentingan politik biasanya kental melatar belakanginya. Tak mengherangkan jika kemudian wacana pemekaran daerah senantiasa menjadi hal yang dinamis kontroversial.


P

asca orde baru, jumlah otonom yang dimekarkan meningkat sangat fantasistis. Tahun 1998 terdapat 293 kabupaten/kota terdiri dari 291 daerah induk dan dua daerah pemekaran. Pada tahun 2006, jumlah daerah otonom kabupaten/kota telah menjadi 450 terdiri dari 434 daerah induk dan 16 daerah pemekaran. Dilihat dari jumlah daerah, pemekaran terbanyak terjadi pada tahun 2003 (49 daerah), disusul tahun 1999 (43 daerah) dan tahun 2002 ( 37 daerah).

Koordinator Para Bupati Wilayah Papua Tengah Drs. A. P. Youw saat menyerahkan berkas pembentukan Propinsi Papua Tengah kepada Mendagri (Mardianto) beberapa waktu lalu. (foto ist)

Pada tahun 2001 dan 2006 tercatat hanya, dibentuk 12 dan 16 daerah baru. Jadi secara keseluruhan, dalam priode 1999 -2006 terjadi pembentukan (159 daerah baru kabupaten/kota). Jumlah ini lebih banyak dibandingkan priode 1996 -1960 , yang hanya terjadi pembentukan 145 daerah baru.

jumlah baru masih mungkin untuk bertambah jika tidak ada pengaturan yang lebih baik, berupa regulasi pembentukan daerah otonom baru yang lebih ketat. Puluhan usulan pemekeran sudah masuk ke Jakarta dan belasan sudah diproses DPR.

Pertengahan Mei 2007, tim kerja pemekaran wilayah DPR telah Menyelesaikan RUU pemekaran Kabupaten Buku Raya, Kota Serang, Kabupaten .Manggarai Timur, Kabupaten Pasawaran, Kabupaten, Tanah Tidung, Kota Tual, kabupaten Padang Lawas, dan Kabupaten, Ngkola Sipirok.

Dipengghujung tahun ini, muncul kehendak dari elit politik agar dihentikan sementara (moratorium) setiap usulan kebijakan pemekaran daerah pihak terkait (Pemerintah,DPR,dan DPD) telah sepakat akan hal ini.

Ketua DPR RI Agung Laksono, ketika menyampaikan pidato penutupan masa persidangan III tahun 2006/ 2007 mengatakan, moratorium tersebut penting dalam konteks penetapan daerah pemilihan pemilu 2009.

Namun menurut pakar ilmu politik dari Universitas Padjadjaran Dr.dede Mariana usul moratorium ini tampak lebih dikaitkan dengan rencana pelaksanaan pemilihan umum (pemilu)2009 mendatang, bukan pada persoalan hasil pemekaran bagi masyarakat.

“Pertanyataan ketua DPR menyiratkan belum kehendak ada serius untuk menilai atau mengevaluasi hasil pemekaran secara saksama. Pada hal, pemilu ataupun tidak ada pemilu, kesejatrahan masyarakat didaerah haruslah dikedepankan ketikan membicarakan pemekaran daerah,” ujarnya.

Maraknya tuntutan pekekaran daerah otonom lanjutnya, sesungguhnya merefreksikan harapan masyarakat akan perbaikan kesejatraan. Pola pembangunan selama ini belum mampu menghasilkan pemerataan kesejatraan, baik dalam arti ekonomi maupun aksis untuk memperoleh pelayanan publik yang berkualitas.

Pertumbuhan ekonomi hanya terjadi dibeberapa pusat pertumbuhan. Demikian pula pelayanan public belum mampu menjangkau seluruh wilayah dengan kualitas yang merata. Harapannya, melaluhi pemekaran daerah, rentang kendali dapat diperkecil, fasilitas pelayanan lebih dekat pada masyarakat, dan kegiatan ekonomi menjadi tersebar.

“ Pada kenyataannya, pemekaran daerah tidak secara otonomis bisa langsung mampu merealisasikan harapan tersebut. Setidaknya satu tahun pertama pasca terbentuknya daerah baru, langkah awal yang harus dilakukan pengisian jabatan – jabatan politik dan birokrasi pemerintahan didaerah baru tersebut. Dan ini tidak bisa diselesaikan dalam satu sampai dua tahun” ujarnya.


Pengisian jabatan politik dan birokrasi pemerintahan sambungnya, bisa saja memerlukan waktu yang lebih panjang bila muncul konflik kepentingan dikalangan elite, atau bisa juga karena adanya konflik antara daerah induk dan daerah baru yang tidak kunjung terselesaikan.

Daya Tarik Pemekaran

Selain bicara soal percepatan peningkatan kesejatraan masyarakat, ada apa sebenarnya dibalik maraknya tuntutan pemekaran daerah. Pasalnya, dimasa transisi ini, kepentingan elite (birokrasi, politisi, dan pengusaha) akan sangat kuat mendinominasi daerah otonom baru tersebut ketimbang urutan masyarakat sebagai stakeholder sesungguhnya.

“Sehingga bila tidak diimbangi dengan kontrol masyarakat, bisa jadi pemekaran daerah baru, justru berujung pada in-efisiensi dan in-evektivitas,” tutur Dede.

Dipaparkanya selain adanya jabatan politik dan pemerintahan yang baru adanya aliran dana yang begitu besarnya dari pusat kepada daerah, juga menjadi imim- imim bagi tuntutan pemekaran. Jika selama ini hanya menunggu pasokan dana daerah induk sebuah daerah yang baru dimekarkan akan langsung mendapat suntikan dana dari induknya dan juga pusat. Komponen dan suntikan itu mencakup Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil.

“ DAU bisa saja lebih banyak turun ke daerah, tapi itu belum tentu berkorelasi langsung dengan kesejatraan masyarakat. Bukannya menyejatrakan public, tetapi justru menyejatrakan sebagian kecil elite.” tandas dede.

Senada dengannya, wakil presiden Yusuf Kalla juga menilai pemekaran yang ada saat ini terlalu memboroskan anggaran negara dan mencerminkan dana otonomi daerah yang otoriter. Untuk itu ia mengajak semua daerah untuk menghentikan sementara pemekaran daerah.

“ Ujung –ujungnya tetap minta dana kepemerintah pusat” kata kalla didepan para peserta pendidikan generasi ke 40 lembaga katahanan nasioanal( lemhanas), beberapa waktu lalu.

Banyak daerah, kata Kalla, yang pendapatan asli daerah (PAD)nya minim melakukan upaya pemekaran hanya untuk mendapat DAU dari pusat yang jauh lebih besar.

“ PAD nya hanya Rp. 5 triliun, tetapi dapat DAUnya mendapat Rp.100 triliun ini semangatnya keliru ,“ Ujar Kalla. Pemekaran ini Kalla menuturkan tergantung dari niat daerah yang bersangkutan. Undang – undang juga memberikan prasyarat suatu daerah untuk melakukan pemekaran.”tetapi ada prinsip –prinsip ekonomi yang diatur dalam pemekaran daerah,” Kata Kalla.

Semangat otonomi, ujar Kalla, seharusnya disikapi dengan pemekaran sentralistik hanya untuk mendapatkan DAU yang besar.” Inikan budaya ketergantungan, bukan itu semangatnya,”kata dia.

Pemerintah pusat, Kalla menguraikan terkadang dilematis untuk menyetujui usulan pemekaran. Seharusnya menurut Kalla gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD) harus selektif menyetujui daerah diwilayahnya untuk melakukan pemekaran. Mentri Dalam Negeri (Mendagri) kadang tidak tahu ada daerah yang sudah dimekarkan ,” ungkap dia.

Daerah malah diminta untuk mengoptimalkan pelimpahan belanja modal dari pemerintah pusat untuk membangun infrasruktur guna menarik investor. sekarang belanja rutin membangun gedung baru dikurangi, jadi daerah harus mengerti,” kata kalla.

Karena itu, lanjutnya, pemberdayaan masyarakat juga harus dilakukan agar parsitipasi masyarakat dapat meningkakan, termasuk untuk melakukan control social dan mengingatkan pada elite bahwa pemekaran daerah adalah demi kesejatrahan masyarakat.

Evaluasi Dan Perencanaan Menyeluruh

Dede menerangkan, dimasa mendatang, pembentukan daerah otonom baru harus selektif. Dasar pertimbangannya bukan sekedar menemuhi kriteria normative dan ada aspirasi politik masyarakat, tetapi juga didasarkan pada hasil evaluasi kapasitas pemerintahan didaerah yang bersangkutan.

“ UU No 23 / 2004 tentang pemerintahan daerah sebenarnya telah mengamanatkan evaluasi otonomi daerah untuk menilai pelaksanaan otonomi daerah. Namun sayangnya, nuansa politik lebih terasa dibandingkan kebutuhan rasional untuk melakukan penataan wilayah secara keseluruhan,” ujarnya.

Sekalipun pemerintah pusat telah menisyaratkan moratorium untuk pemekaran daerah.

“Perlu ada kajian – kajian tentang hal tersebut tetap dilakukan sebagai bahan perencanaan pembangunan yang berkelanjutan,”harap Dede

Sementara dari pemerintah, sejak jauh hari Presiden Susilo Bambang telah merasa prihatin atas dampak dari pemekaran daerah yang ternyata banyak melengceng dari tujuannya semula banyak wilayah yang dimekarkan ternyata belum dapat meningkatkan pembangunan dan pelayanan public, dan justru menambah beban keuangan Negara. “ Karena itu, pemekaran daerah baru perlu ditatah kembali secara sistematis dan terarah.

Presiden menilai, meskipun pemekaran itu berangkat dari aspirasi yang baik, untuk meningkatkan pembangunan dan pelayanan public, namun dari berbagai evaluasi, terlihat sebagai besar daerah – daerah belum mampu mewujudkan keinginan itu, “ Papar Presiden saat menyampaikan keterangan pemerintah tentang kebijakan pembangunan daerah dalam sidang paripurna DPD diJakarta belum lama ini.

Karena itu, menurut Presiden, pemerintah akan menunda pengajuan rancangan undang –undang inisiatif pemekaran wilayah sambil menunggu penyelasaian peraturan pemerintah tentang pemekaran dan pergabungan wilayah.

Keinginan Presiden itu direspon cepat oleh Mentri Dalam Negeri Mardiyanto. Belum genap satu tahun dimasa jabatannya, Departemennya telah menerbitkan PP NO.78 tahun 2007 yang isinya menyempurnakan PP No.129 / 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, pengapusan, dan penggabungan.

“ PP ini di sahkan Presiden pada 10 desember 2007. Kedepannya, bagi daerah – daerah yang telah memproses pemekaran, karena aturanya sudah berbeda, semuanya harus menyesuaikan, “ ujar Mendagri beberapa waktu lalu.

Mardiyanto menjelaskan, salah satu aturan yang ditekankan dalam PP 78 tahun 2007 adalah syarat pemekaran yang harus benar- benar dari lapisan paling bawah dan mendapatkan persatuan dari daerah induk.

“ Bahkan untuk pemekaran Propinsi harus ada rekomendasi Mendagri,” ujar Mardiyanto yang juga mantan gubernur Jawa Tengah itu menambahkan, substansi terpenting dari perubahan PP itu antara lain menyangkut proses usulan yang harus berasal dari bahwa, yakni melaluhi forum komunikasi desa/ kelurahan.

“ Jadi tidak bisa secara tiba – tiba disampaikan kepusat oleh organisasi kepanitiaan ataupun LSM,” tandasnya.

Selain itu, imbuh Mardiyanto, mengacu pada PP 78 tahun 2007 pemekaran daerah juga harus mendapat penilaian khusus dari tim independen yang dibentuk untuk mengindetiftikasi aspirasi yang muncul.

“ Tim ini nanti yang menilai kelayakan pemekaran. Struktur tim adalah independent dan mekanisme kerjanya nanti akan dirumuskan pemeritah” paparnya. Mardiyanto mengakui, aturan baru tentang pemekaran dalam Nomor 78 tahun 2007 itu memang bertujuan untuk memperketat pemekaran daerah agar lebih terkontrol.

“ Kalau usul pemekaran datang bertubu – tubi, tujuan pembentukan daerah otonomi baru bisa bisa peningkatan kesejatrahan rakyat dan memperpendek rentang kendali pemerintahan mau tidak tercapai,” tugasnya.

Dipasal 5 PP 78 itu diatur bahwa syarat administrasi pembentukan propinsi antara lain mengharuskan adanya keputusan bersama bupati / wali kota wilayah calon Propinsi tentang persetujuan Propinsi tersebut.

Poin penting lain di PP 78 yang tidak diatur di PP 129, adalah diharuskan adanya rekomendasi mendagri, baik untuk pembentukan Propinsi maupun kabupaten / kota. Hal ini secara eksplisit di- sebutkan dipasal 5 PP 78.

Tentang pemekaran itu harus dikembalikan niatnya untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan sehingga pelayanan bagi masyarakat semakin baik dan sejahteraan masyarakat dapat tercapai, bukan sekedar membatasinya. (pamong/bobii)




Tidak ada komentar: