Selasa, 22 April 2008

Orang Kamoro di Mimiyeika Nasibmu Kini



Nama Mimika berasal dari perkataan Mimiyeika yang berarti ‘sungai yang mengalir ke hulu’.Mimika adalah kata yang menerangkan tentang masyarakat yang pengguna bahasa Kamoro dan Sempan. Sedangkan Sempan berasal dari perkataan ‘Semopanowe”yang artinya orang pedalaman. Suku sampan ini hidup di Sungai.oleh karenanya mereka manamakan dirinya Omawka-Owe atau orang dari sungai. Suku Sempan terdapat pada bagian tengah pesisir selatan Papua antara Kokonau dan Agats; Berada disebelah Timur dari masyarakat pemakai bahasa Kamoro dan sebelah Barat dari masyarakat pemakai bahasa Asmat.

Mimika yang kini menjadi pusat kota Timika adalah tanah leluhur Suku bangsa Sempan. Selain itu wilayah konsesi PT Freeport Indonesia juga adalah milik suku orang Sungai ini. Tanah Leluhur Suku Sempan yang sudah diambil PT Freeport adalah mulai dari Mimika ( Pantai, Port Side ) hingga Mil 50 ( jalan menujuh Tembagapura). Suku Sempan dan Suku Kamoro adalah satu Rumpun namun berbeda Bahasanya. Suku Kamoro berasal dari wilayah Kokonau dan sekitarnya, Mimika barat.

Pusat kegiatan orang Sempan dan Kamoro ( Selanjutnya disebut Kamoro) berada disepanjang pantai arafuru[1]. terdapat 50 Marga yang bermukim di Taparu. Keberadaan asal muasal suku Kamoro adalah dahulukala diawali dengan ditemukan sebutir telur oleh seorang anak kecil ditepi pantai. Kemudian sianak tersebut membawah pulang kerumahnya. Telur tersebut tidak dimasak, tidak juga dirusak malahan si anak menyimpan dan merawatnya. Selang beberapa hari kemudian telur tersebut menetas. Tetesan tersebut seekor hewan reptile ( seperti seekor komodo/ Buaya). Dari hari berganti hari Komodo/buaya tersebut bertembuh dan lama kelamahan menjadi besar dan dewasa. Komodo/buaya yang besar tersebut diluar dugaan memakan seluruh penduduk dikampung tersebut. Yang tersisa hanya seorang ibu hamil. Ibu hamil tersebut bernama Mbirokateya. Ia selamat karena terlebih dahulu sebelum Komodo/buaya memangsa habis seluruh penduduk ia sudah menyembunyikan diri. Selang beberapa waktu kemudian si ibu tersebut melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Mbirokateyau. Mbirokateyau kecil bertumbuh menjadi seorang laki-laki yang perkasa, ia menjadi dewasa. Dalam kehidupan kesehariannya sang ibu Mbirokateya selalu menceritakan peristiwa yang penah terjadi,kisah Komodo/Buaya memangsa habis seluruh warga kampung tersebut kepada sang anak. Maka Mbirokateyau yang sudah menjadi laki-laki kokoh berbadan tegap dan memiliki tenaga yang kuat berhasil membunuh Komodo/Buaya yang pernah memakan seluruh warga tersebut. Hewan tersebut dipotong menjadi empat bagian dengan ukuran yang sama besar. Potongan hewan tersebut dilempar oleh Mbirokateyau ke empat arah mata angin. Lemparan pertama kebagian Timur sambil Mbirokateyau berkata Umuru me yang kemudian dipercaya telah menjadi orang asmat di Merauke. Lemparan kedua diarahkan ke bagian Barat sambil berkata Kamoro we akhirnya tercipta manusia suku kamoro. Lemparan ketiga kearah uatara yang akhirnya tercipta orang pengunungan dan lemparan terakhir yang keempat diarahkan kebagian selatan sambil berkata Semopano we akhirnya menjadi manusia suku sampan di Mimika.

Secara keseluruhan Suku Kamoro dalam kehidupan sosialnya membentuk kelompok suku sambil mengunjungi antar sesama, melakukan usaha mencari makanan dengan menokok Sagu sebagai makanan suku Kamoro, memancing dan menangkap ikan dan berburuh. Dalam kehidupan kesehariannya suku kamoro memiliki beberapa tokoh adat. Mereka memiliki karakter khusus. Ke khususan bakat tersebut yang dimiliki beragam, misalnya Tokoh adat yang dapat mengatur pesta adat pada suku Kamoro disebut Kakurue we.

Suku Kamoro juga menyukai dunia tarik suara dan tarian-tarian. Mereka dapat bernyanyi dengan suara yang khas. Dalam setiap acara pasti saja ada lagu yang sesuai dengan pesta tersebut. Misalnya dalam pesta pernikahan tentu ada lagu tentang pernikahan, ketika diadakan pesta duka karena ada keluarga yang meninggal maka sudah barang tentu ada lagu bertemakan duka. Sebagai suku yang suka pada tari-tarian, musik dan bernyanyi mereka memiliki Tokoh adat yang memiliki skil mengatur tarian-tarian, yang dalam bahasa Kamoro disebut Tauriwe. Sedangkan tokoh adat yang mampu mengatur nyanyi-nyayian disebut Bikipiakare dan juga Mereka mengenal orang yang mampu mengatur musik. Orang ini disebut Bikiawe. Ia pandai dalam mengatur musik pada pesta tipa duduk. Pada pesta Karapau orang yang mengatur musik dan nyayian disebut Tauwe. Ada juga Ndikiarawe yaitu ahli dalam mengiring penyanyi. Ada juga yang dinamakan Yawari Pikare yaitu orang yang ahli dalam penegas lagu. Selain itu ada juga tokoh adat yang disebut Amotawe adalah seorang yang tugasnya pengatur dusun sagu. Ada juga Opakawe yang tugasnya mengatur pesta adat. Ada juga Kawe adalah tokoh adat pengatur makanan pisang. Ada juga yang disebut Rawe yaitu tokoh adat pengatur ikan untuk menjadi makanan bersama.Sedangkan Weyaiku adalah sebutan bagi tokoh adat besar, pimpinan tertinggi. Mereka juga memiliki system pemerintahan adat organisasi kemasyarakatan terkecil yang dipimpin oleh Kapitana. Mereka memiliki rumah adat yang disebut Taparu.

Dalam struktur pemerintahan adat Weyaiku adalah pemimpin tertinggi di Taparu pada wilayah adat suku Kamoro. Ia memiliki tugas dan tanggungjawab sebagai pelindung masyarakatnya, ia adalah panglima perang untuk melindungi hak-hak ulayat suku Kamoro dari segala bentuk gangguan. wakilnya disebut Ndati,ia bertugas memimpin dan menguasai seluruh warga suku Kamoro. Memiliki tugas dan tanggungjawab untuk mengatur batas-batas tanah adat suku Kamoro dan sekaligus menjadi wakil panglima perang. satruktural dibawahnya disebut Wakera, Ia adalah seorang tokoh adat yang berfungsi melaksanakan tugas-tugas Weyaiku apabila berhalangan. Memiliki tugas dan tanggungjawab untuk menjaga-tanah-tanah adat dalam wilayah wakera. berikutnya Ukuma, adalah wakil dari Wakera. Berikut dibawahnya Mbayora,tokoh adat di tingkat kampung dibawahnya Kapitana adalah tokoh adat yang memimpin masyarakat dalam kelompok marga atau clen. Ia memiliki tugas dan tanggungjawab ditingkat dusun dan paling bawah disebut Ayapati memiliki tugas dan tanggungjawab yang istimewa. Ia berhak memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan hak ulayat Suku Kamoro. Dalam suku ini kepemilikan tanah secara komunal. Mereka juga mengenal upacara-upacara ritual seperti Mbitoro:Sang Pencipta, Ote Kapa, Pekaro, Tamate.

Pola hidup orang Kamoro adalah nomaden. Hidupnya selalu berpindah-pindah dan tergantung pada musim dan ketersediaan makanan. Secara Ekologis wilayah adapt suku Kamoro terdiri dari sungai, dan kali-kali kecil yang membentuk meander dan delta serta kawasan rawa dengan berbagai jenis tumbuhan air, vegetasi semak, rawa rumput- rumputan, sabana, sagu, pandanus hutan dan hutan bakau.

Bagi orang Kamoro tanah dan wilayah kehidupan mereka diibaratkan seperti ibu, sumber kehidupan,basis akar system social dan budaya dimana seluruh kehidupannya bergantung. Mereka membangun Kapiri Kame rumah bivak dari daun pandan untuk bermukim dan mengumpulkan makanan kemudian berpindah lagi ke tempat lain.

Diperkirakan orang Kamoro berinteraksi dengan orang luar sudah lebih dari 100 tahun yang lalu. Pater J. Coenen mencatat bahwa orang kamoro sudah dikunjungi oleh para pedagang dan pemburuh burung orang cina. Lalu sejak awal abad 20 orang kamoro sudah menghadapi pemerintah Belanda,Jepang dan kemudian Indonesia[2]. Pada abad ke-19, orang-orang Eropa telah melakukan sejumlah kalipelayar sepanjang Pantai selatan tanpa pernah mendarat. Tahun 1905 dibawah pimpinan A. J. Kroessen menjelajahi daerah hilir sungai Mimika dengan perahu motor dan bertemu penduduk asli Kamoro. Saat itu telah dibuat Peta garis pantai Selatan oleh Perhimpunan Geografi Belanda (Royal Geographical Society).

Pada tahun 1926 di Kokonau yang terletak di muara sungai Mimika telah dibangun pos lapangan oleh Belanda. Pada tahun 1928 Gereja Katolik mulai mengembangkan pengaruhnya dari pos tersebut[3]. Pada awalnya orang-orang Kamoro menganggap gereja dan buadaya barat yang masuk dari barat melalui ajaran Katolik sebagai sesuatu yang luar biasa. Yang dating dari Tuhan lantaran Orang Kamoro berada dalam kondisi ketakutan akibat perang dengan Suku Asmat[4]. Melihat kondisi ketakutan dari orang Kamoro tersebut maka pihak Gereja meminta pertolongan kepada polisi Belanda untuk membantu orang-orang Kamoro dan menyerang suku Asmat Hal ini membuat Ajaran gereja Katolik tumbuh subur. Pemerintah Belanda dan pihak gereja Katolik perna mencoba membangun sistem ekonomi melalui budidaya tanaman karet, teh, kopi, kelapa dan tanaman bernilai jual lainnya dikebunTetapi proyek perkebunan ini tidak berhasil.

Orang kamoro tidak mengenal system pertanian sehingga mereka kembali kepada kehidupan mereka sebagai pelayar dan tidak mau hidup menetap. Mereka suka menebang pohon sagu, berburuh, memancing, mengukir dan melakukan ritual keagamaan. Orang Belanda tidak menyukai agama adat yang dianggap tradisional sehingga orang Belanda membakar rumah-rumah Ibadah. Keadaan orang Kamoro tidak berubah karena orang-orang Belanda telah menghancurkan budaya Kamoro. Maka orang Kamoro menjadi tidak memiliki semangat dan budaya. Lamah kelamahan kehidupan mereka lenyap. Agama tradisional tidak lagi dilakukan. Agama Kristen tidak ada arti bagi Suku Kamoro. Masa lalu mereka telah lenyap untuk selamanya, masa kini mereka tanpa semangat, sedang masa depan mereka tanpa harapan. (jhon k pakage)



.

Tidak ada komentar: