Jumat, 18 April 2008

Berbenah Hidup Melalui Program Owadaa

Muspas II Tahun 2008 Dekenat Paniai

Musyawarah Pastoral ( Muspas) II tahun 2008 Dekenat Paniai Keuskupan program gereja Katolik yang selalu dilangsungkan setiap tiga tahun sekali. Muspas II tahun 2008 dipusatkan di paroki ST. Yohanes Pemandi Waghete selama sepakan sejak 11-16 Februari. Tujuan muspas tentunya adalah untuk menentukan arah kebijakan gereja Katolik se-dekenat Paniai. Sekaligus mengevalusi kembali program tiga tahun silam.


P

Perayaan Misa Kudus Penutupan Muspas II Dekenat Paniai Keuskupan Timika Diparoki St. Yohanes Pemandi Wagete. (foto doc)

ersiapan untuk menyelenggarahkan program tersebut pihak dekenat telah membentuk panitia sejak 2007. hingga panitia tingkat paroki. Umat katolik Paroki Waghete menjadi tuan rumah terlihat sibuk mempersiapkan berbagai kesiapan yang tentunya untuk menjamu tamu-tamu dari 5 paroki lain. Makan minum dan penginapan menjadi beban panitia paroki. Paroki Waghete terdiri dari beberapa stasi, diantaranya stasi Meyepa, stasi Okomokebo, Stasi Watiyai, stasi Yaba, Stasi Damabagata, dan stasi Udagida. Berbagai bantuan mengalir dari kaum intelektual asal Waghete baik secara pribadi juga secara keloktif yang tersebar di Papua.

Semua bantuan dijemput oleh umat setempat dengan tarian adat sebagai ungkap rasa bangga atas bantuan-bantuan itu. Secara sukarela itu dalam berbagai bentuk bantuan, ada yang menyumbangkan sapi, babi, berupa uang, beras, bahkan dari kalangan intelektual Tigi di Nabire menyumbangkan 50 karton air agua.

“ Kami peduli dengan kegiatan gereja itu. Kami memahami bahwa orang tua kami pasti menjadi tuan rumah untuk melayani tamu-tamu yang datang dari Paroki lain,” papar Norbert Mote, SE.

Saat menyerahkan sumbangan dari Nabire umat menerima dengan tarian khas suku Mee, Natalis Adii ketua Panitia bersama pengurus panitia penyelenggara selalu siap menungguh kedatangan para tamu. Kegiatan bernuansa agama dan budaya itu dihadiri oleh para romo yang bertugas diwilayah dekenat Paniai. Para imam asal wilayah Tigi khususnya umum asal Papua turut memeriahkan kegiatan itu.

Dalam perkembangan hidupnya gereja dan budaya sudah berjalan dengan baik. Melalui dua konteks ini orang Mee sudah berkembang. Karenanya kegiatan ini harus menjadi moment untuk melihat kembali pola hidup lama dan baru,” kata Nato Gobai, Pr salah satu imam asal suku Mee.

Pater Nato Gobai, mengatakan sejak tahun 1932 wilayah Paniai telah mengenal agama setelah dibawah oleh seorang misionaris kebangsaan Belanda. Dalam tatanan hidupnya Suku Mee mengalami batu loncatan yang besar. Dimana kehadiran agama merubah semua pola hidup. Sebelumnya moyang mereka menegenal agama namun hanya melalui lisan (budaya). Perpaduan antara agama dan budaya dengan hadiran misionaris telah menyatuhkan kedua aspek itu.

“ Sekalipun mereka sudah mengenal ALLAH dalam budaya tapi secara detail darimana datang firman ALLAH bersumber darimana, belum tahu. Dengan kehadiran misionaris telah menyempurnakan hidup mereka,” Cetus Pater Amandus Pahik,Pr Pastor Paroki Diyai.

Kehidupan Suku Mee memiliki suatu keunikan, hal itu terlihat dalam kebisaan kehidupan sehari-sehari sejak dahulu. Moyang mereka telah mengenal sepuluh hukum Allah. Dengan sendirinya Firman itu sudah tumbuh dan kembang. Dalam perkembangan hidup manusia Mee sejak lama terlihat hukum-hukum adat yang se-identik dengan Firman Allah. Suku Mee menyebut ALLAH sebagai Ugatamee ( dalam bhs Mee), yang artinya ALLAH yang menciptakan segala sesuatu termasuk bumi dan langit.

“ Maka tidak ada jalan lain untuk meningkat hidup yang benar selain agama dan budaya,” Pater Marthen Kuayo,Pr yang juga pastor dekan Paniai itu.

Kehidupan yang baik dan benar terlihat dalam aspek agama dan budaya, karena kedua aspek itu telah berkembang bersama dalam menentukan masa depan suku Mee kala itu. Namun setelah munculnya berbagai perubahan kehidupan yang memiliki nilai-nilai positif kini mulai tergeser, merupakan akibat dari modernisasi dan globalisasi yang kini menjadi ancaman bagi suku Mee khususnya dan umumnya suku –suku di Papua. Hal itu terlihat dalam kehidupan setiap hari. Semisal, masyarakat yang dulunya tinggal dikampung dan mengenal cara berkebun,bertani,beternak,kini tidak lagi. Sebab perubahan zaman telah membuka peluang untuk mereka keluar meninggalkan kampung halaman, sanak saudara.

Proses perpindahan penduduk dari kampung kekota (urbanisasi) menjadi suatu kondisi yang tak dapat elekkan bagi suku –suku dipedalaman. Sejak munculnya arus tranportasi dan transpormasi semua sendi –sendi kehidupan telah merobek kehidupan yang luguh,khusus dipedalaman paniai hal ini sangat kentara. Akibatnya mereka meninggalkan berbagai tradisi yang memiliki nilai-nilai agama dan budaya, dengan demikian kehidupan yang berpedoman pada norma- norma positif kini menuju kepunahan.

Dalam pekan muspas II diisi dengan berbagai materi yang diberikan oleh sejumlah narasumber. Mereka kebanyakan adalah imam- imam Projo yang kini bertugas dipedalaman Paniai. Salah satu materi yang paling menarik adalah “owada”.program owada merupakan salah satu program dekenat Paniai.Owada artinya memagari hidup setiap keluarga dengan memiliki rumah, kebun,ternak,berdasarkan Firman Allah.

Program owada telah dimulai sejak tahun 2001.mengapa gereja harus mengedepankan program tersebut, karena gereja memahami bahwa sebuah keluarga akan hidup baik jika memiliki rumah, kebun,ternak,dalam keutuhan dengan Allah untuk membangun kerajaan Allah dalam keluarga.

Manfred Mote seorang sarjana filsafat yang sudah lama bersama umat Katolik di Paniai telah mengkaji persoalan yang sebenarnya, dimana hasil kajiannya mengungkapkan berbagai fenomena yang terjadi akibat perubahan. Terutama tergesernya nilai - nilai budaya akibat dampak dari perubahan jaman.mesti dipahami bahwa perubahan menjadi mengancam seluruh sendi – sendi kehidupan sehingga dikwatirkan akan terjadi rusaknya fundamentalisme, kultralisme, sosiologisme,religiusme.

Mote menguraikan persoalan yang terjadi akibat tergesernya nilai – nilai budaya dan agama merupakan imbas dari perubahan zaman. Dihadapan seribu orang peserta muspas menguraikan pentingnya agama dan budaya guna menggali cara hidup yang berpatokan pada ajaran agama sebagaimana yang dilakukan oleh para leluhur dikala itu. “ Perubahan misalnya terbukanya jalan darat, pemekaran, informasi dan tranpormasi menjadi suatu kondisi yang memaksakan masyarakat untuk meninggalkan tradisi yang luhur”.tuturnya, seraya menjelaskan Moyang kita memiliki dasar ekonomi yang kuat sekalipun hanya bertani dan beternak, peredaran uang sangat minim bahkan alat tukar mereka hanya mengandalkan kulit bia atau (mege) namun kebutuhan mereka selalu tercukupi. Sebab mereka berusaha dengan jujur dan berlandaskan pada normr – norma agama dan budaya. Maka dengan kekuatan ekonomi mereka memberikan dukungan kepada anak – anaknya untuk mengenyam pendidikan.

Selain itu mote juga membandingkan pola pendidikan masa lalu dan masa sekarang.pendidikan masa lalu memiliki keunikan dimana dalam keterbatasan sarana dan prasarana yang kurang memadai namun outputnya sangat memuaskan. Sekalipun aspek pendidikan telah terbukti, dan terlihat yang sedang memimpin baik dibidang birokrasi, politisi, adalah rata –rata didikan masa lalu.

Sedangkan dari aspek social budaya memiliki suatu hakekat yang tidak bisa lepas dari unsure kekerabatan antar sesama.maka konteks ini pola kehidupan sosial budaya selalu mengutamakan sikap sosio untuk menciptakan kondisi kekerabatan dalam kasih, kebenaran, memandang orang lain sebagai mahluk ciptaan Tuhan dan ketergantungan antar sesama manusia merupakan sikap yang sulit dilepaskan dari kehidupan manusia Mee.

Musyawarah pastoral dekenat Paniai merupakan kedaulatan tertinggi dan berwibawa untuk menentukan dasar dan pedoman arah pastoral bagi para pemimpin dan semua anggota gereja. Maka Muspas II Dekenat Paniai memutuskan sejumlah hal yang kaitannya dengan program gereja, diantaranya Owadaa adalah pusat dan sumber Spritual kehidupan masyarakat Mee (frans Bobii)



Tidak ada komentar: