Selasa, 22 April 2008

Menemukan Hidup Bersama Kelompok Marjinal


Kasih ibu… kepada betaa

tak terhingga Tidak sepanjang masaaaaaa…. Hanya memberi tak ada kembali bagai sang surya meninari dunia……

lagu ini tepat jika dinyanyikan ketika mengingat mama yang berjasa terhadap setiap orang yang dikandung, dilahirkan dan dibesarkan, dibina, diasuh tanpa mengenal lelah, dalam suka dan duka oleh seorang ibu yang sepanjang masa setia kepada anaknya. Bila mengingat kembali masa-masa kecil setiap orang akan teringat betapa besar kasih mama. Pastilah setiap anak kini sedang hidup dan belajar bersama mama Rosalia Widyah Triatun akan mengingat kembali betapa baik seorang mama ini.

Tidak semua orang bisa bersabahat dengan orang miskin dan sederhana. Jika berteman dengan kelompok orang kecil pasti merasa minder dipandang manusia lain. apalagi bergaul dengan kelompok manusia dinomorduakan oleh kelompok manusia lain yang merasa bisa hemat dan berada dalam suasana hidup yang mewa. Kondisi ini yang sedang terjadi di dunia ini terutama di Papua. Era globalisasi ternyata menjadi suatu persaingan, kelompok marginal dan sederhana tetap sederhana dan mereka tidak mampu bersaing dengan kelompok elit. Kelompok miskin merasa minder jika bergaul dengan orang kelas teratas. Sebab mereka merasa tidak pantas dan tidak akan diterima oleh golongan itu. “ bagi saya memang manusia lain sebagai sesama yang perlu disapa, diperhatikan,” ujar Ny. Rosalin Widyah Triatun Radjadala.

Sikap ke-ibuan yang penuh kasih dan kesederhanaan terpampang di wajahnya, ketika bocah-bocah kecil berkumpul dirumahnya untuk belajar sejumlah ketrampilan yang dirancang dengan alat-alat sederhana. Sikap rama, kasih dan sayang murah senyum serta penuh sikap keibuaan ini ternyata menjadi ramuan bagi anak-anak yang ada disekitar komplex KPR Siriwini Nabire.

Mama yang memiliki dua anak merupakan hasil Perkawinan dengan Drs P.H. Radjadalah ini memulai kegiatan sosial dalam kesederhanaan hidup. Sekalipun kebutuhan keluarganyapun alah kadar namun keprihatinan terhadap kelompok marginal sudah menjadi bagian dari hidup semenjak masih kecil. Di rumahnya yang penuh dengan berbagai jenis bungga ini setiap hari anak-anak negeri yang berasal dari kelompok marginal itu berkumpul untuk belajar beberapa kegiatan yang dilaksanakan yang diprakarsai oleh mama Widyah.

Bagi mama Widyah tidak berarti jika tidak berkumpul sambil berdendang, berlagu dan membagi sesuatu pengalaman kepada anak-anak kecil. “ ada rasa bahagian tersendiri jika hidup bersama kelompok marginal dalam kesukaran hidup yang menerpa hidup manusia ini,”tuturnya seraya menceritakan berbagai kegiatan dilaksanakan.

Bagi mama Widyah, hidupnya tidak berarti jika mengesampingkan manusia lain yang hidup dalam keterpurukan dan serba kekurangan. “Sejak beberapa tahun lalu anak-anak kecil ini saya kumpulkan. Disini mereka belajar beberapa ketrampilan. Diantaranya, bermain musik, melukis, membagi bagi anak-anak kelas satu SD serta kami juga memiliki klub sepak bola usia dini,”ungkapnya sambil menunjukkan hasil lukisan anak-anak didikannya.

Untuk memperlancar kegiatan sosial (kemanusiaan) itu ibu sebaya tua ini selalu menyiapkan makan dan minum setiap hari latihan ketrampilan. Yang sangat menarik dari mama ini, ketika anak-anak itu datang menerima mereka dengan hati yang terbuka. Bahkan dia memandikan serta mengusap ingusan.

Sebuah lagu yang selalu dilangtumkan ketika mengingat kasih seorang ibu tidak hanya sebatas sebuah dendang lewat berlalu akan tetapi pasti memiliki makna jika dicermati dengan baik. Mama Triatun hampir seluruh hidupnya di pedalaman. Ia mengikuti bersama suami terutama di pedalaman Paniai tepat di distrik Tigi ( Waghete-1986) dikalah itu Drs. PH. Radja Dala menjabat sebagai camat. Dirinya sudah mengenal masyarakat Mee dengan cara hidupnya. Terlihat sangat dekat dengan mereka. Selama hidupnya bukan saja dengan anak-anak kecil akan tetapi juga dengan mama-mama dari pedalaman Paniai. Dia juga membentuk sebuah kelompok. Kelompok itu terdiri dari mama-mama dari pedalaman. Setiap minggu pada hari –hari tertentu. Kelompok tersebut atas kesepakatan bersama diberinama kelompok Enaimo Ekowai. Groub ini dibina ketrampilan memasak, ketrampilan menyulam, ketrampilan menjahit serta menata ruangan. “ kita harus belajar sekalipun kita sudah tua akan tetapi mau ingin tahu,”papar seorang ibu dengan nada semangat.

Mama Triatun sangat peduli dengan mereka, ketika kesulitan dihadapi oleh keluarga mama binaan itu pasti dirinya akan peka terhadap mereka. “ ya paling tidak membantu apa yang kita bisa bantu,”tandasnya.

Hingga saat ini tercatat belasan mama-mama yang selalu belajar bersamanya. Dalam serba kekurangan mama Triatun selalu berupaya menghidupkan kelompok. “Apapun persaoalannya bagi saya kesulitan itu merupakan teman dalam untuk mencerna hidup yang sebenarnya,”ungkap mama Triatun mengakhiri perbincangan. (ignas)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Syalom, telah berpulang mama Rosalia Widyah Triatun pada hari Sabtu, 25 Mei 2019 di yogjakarta dalam usia 64 tahun. Mohon maaf apabila ada salah dan kekurangan semasa hidupnya.. keluarga.. terimakasih